Senin, 21 Juni 2010

TUANKU IMAM BONJOL MINANGKABAU DAN PERANG PADERI II

PEMBERITAHUAN:
Tulisan ini adalah berupa catatan2 yang belum sudah, namun sengaja saya terbitkan agar para pembaca yang lebih mengetahui tentang jalannya sejarah ini bisa memberi masukan, kritikan dan lain hal yang sifatnya membangun.
Dan kepada kawan-kawan yang terlibat dalam menegakkan dakwah salafiah di sumatera barat, riau dan batam dan kebetulan membaca tulisan ini sangat saya harapkan informasi serta masukan2nya agar tidak ada yang terlewatkan bagi saya dalam menuliskan catatan-catatan sejarah ini.


PARA INSPIRATOR:
Para inspirator gerakan Paderi yang terjadi di Minangkabau tidak terlepas dari kedua tokoh ini, yaitu Syaikh Muhammad Abdul Wahab dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Para tokoh agama ini di negeri mereka masing-masing adalah tokoh penegak ajaran tauhid pada jamannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran-ajaran yang dibawa oleh tiga orang tuanku disemangati oleh terjadinya pemurnian islam yang terjadi di Saudi Arabia. Pemurnian ini tidak terjadi setengah-setengah, tapi secara menyeluruh, mulai dari pribadi sampai kepada pemerintahan pada masa itu tunduk kepada syariat Islam yang pada saat itu dipimpin oleh Imam Ibnu Suud sebagai pendiri kerajaan Saudi Arabia dan Imam Muhammad Abdul Wahhab sebagai ulamanya.
Membaca inspirasi terjadinya perang Paderi berarti kita harus Merunut ke belakang.

PERIODE TAHUN 1803 – 1837
Saat pertama kali gerakan salaf masuk ke Minangkabau terkenal dengan nama gerakan wahabi/gerakan paderi yang masuk pada pada awal abad ke 19 tepatnya pada tahun 1803 M. Gerakan ini (imam Abdul Wahab. Ket) yang dilihat dan diperhatikan bagaimana militannya, bagaimana pembersihan tauhidnya, dilihat oleh tiga orang haji dari minang kabau seketika mereka naik haji ke Mekah yaitu haji Miskin, haji Sumanik dan haji Piobang. Lalu mereka sebarkan dengan semangat di negeri mereka sendiri minang kabau. Lalu diikuti orang , maka berdirilah gerakan kaum agama yang dinamakan gerakan paderi.(Hamka, Tuanku Rao antara fakta dan khayal. Hal: 114)
Dan anjuran yang beliau-beliau bawa itu mendapat sambutan hangat oleh delapan orang ulama terkemuka di luhak Agam yang dipelopori oleh tuanku nan Renceh di kampung Bangsa, Kamang. Tuanku Imam Bonjol mencemplungkan diri kedalam gerakan Paderi, setelah sampai seruan tuanku Nan Renceh dari kamang ke Bonjol. Dan Tuanku Nan Renceh menerima pula pelajaran dari tiga tuanku yang pulang dari Mekah, membawa pokok pelajaran tauhid yang putih bersih menurut pandangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahab (wahabi). (Hamka. Dari perbendaharaan lama. Hal 115)

Lalu dakwah ini disambut oleh ulama yang lain diseluruh alam Minang Kabau, sampai dapat dilaksanakan dalam sebuah nagari dengan kesepakatan ahli agama dan ahli adat, sebagaimana yang terjadi dalam negeri Bonjol.

Dibawah raja nan tiga sela yaitu, 1.Tuanku Imam 2.Datuk bandaharo 3.Datuk sati. Pada masa ini terdapat kesepakatan antara ulama dan kaum adat mengenai kedudukan masing-masing dalam masyarakat pada umumnya. Kesepakatan yang diakui tidak akan diubah sampai kiamat.

Isi dari kesepakatan itu antara lain:
1. Penghulu tetap menjadi raja, katanya didengar perintahnya diturut
2. Alim ulama menjadi suluh bendang dalam negeri, hidup tempat bertanya.
3. Adat yang tidak disukai agama akan dimasukkan kedalam tanah yang lekang, dihanyutkan ke hilir air.
4. Hukum yang harus (boleh-red) dalam agama, tetapi adat tidak mengizinkan, tidak akan dipakai. Seperti kawin sepersukuan dan sepayung.
5. Hukum adat yang disukai agama dinamakan hukum kawi, dan adat yang tidak disukai agama dinamakan adat jahiliyah.
6. Hukum agama yang telah diakui oleh adat akan menguatkannya, dinamakan syara yang lazim yaitu mazhab Syafii, umpamanya nikah berwali, anak seperintah bapak.
7. Alim ulama tidak berhak melakukan hukum , tetapi berhak memberikan keterangan pada penghulu.
8. Penghulu tidak berhak menjalankan hukum sebelum menerima penerangan dari alim ulama, yang dinamakan Minang Kabau yang bermufti.
9. Menetapkan bunyi pepatah:
Syara mengata, adat memakai.
Minang Kabau bertubuh adat berjiwa Syara’
Penghulu selaku juru batu dan alim ulama selaku kemudi
Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah
(Deliar Noer. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Hal 238-239)

Gerakan pembaharuan itu telah berkembang di seluruh alam Minangkabau sampai masuk penjajah Belanda 1821 dan baru ditaklukkan setelah pertahanan Bonjol dapat dihancurkan pada pada tahun 1837 (artinya setelah berperang selama 16 tahun) dan habis sama sekali setelah jatuhnya pertahanan Tuanku Tambusai , benteng pertahanan Dalu-dalu pada tahun 1838. (hamka, Muhammadiyah di Minang Kabau, hal 7-8)

Setelah penaklukan Minang Kabau sebagai akibat perang Paderi, kebijaksanaan pemerintah membatasi guru-guru agama maupun para haji yang pulang dari mekah dengan menjauhkan sejauh mungkin menyisihkan mereka dari pengurusan kehidupan masyarakat sehari-hari, dan dengan menyokong kekuasaan dari apa yang mereka anggap sebagai kepala-kepala anak negeri yang sah. (Taufik Abdullah, Adat dan Islam: suatu tinjauan tentang konflik di Minang Kabau, hal 121)

Maka setelah tahun 1838 ini, selesailah episode pertama dari gerakan dakwah salafiyah yang lebih dikenal dengan gerakan Wahabi/gerakan paderi di ranah Minang. Lalu mulailah episode kedua dari gerakan ini seperti yang ditulis oleh oleh Hamka.”Bahkan kekalahan kaum Paderi menyebabkan timbulnya keinginan pada anak cucu mereka mengirim anak-anak nya belajar agama islam yang lebih mendalam ke negeri Mekah, meskipun pemerintah telah mendirikan sekolah raja-raja di Bukittinggi, namun yang dimasukkan kesana adalah anak-anak raja. Adapun anak-anak dan keturunan dari kaum agama yang nenek moyang nya terlibat langsung atau tidak langsung dengan gerakan paderi , ke Mekahlah mereka dikirim belajar oleh orang tuanya, lebih-lebih sejak kapal layar sudah menjadi kapal api yang menyebabkan bertambah lancarnya jalan ke Mekah.
BERSAMBUNG......

ARTIKEL TERKAIT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar