Selama ini alur hidup yang banyak dianut oleh masyarakat kita adalah, hidup sudah mapan, sudah punya pekerjaan tetap, sudah punya rumah sendiri, dan telah mempunyai kendaraan yang layak, barulah seseorang dikatakan layak untuk menikah. Banyak orang tua yang menasehati anaknya,“Kalau bisa, kuliahnya cepat-cepat diselesaikan. Terus kerja. Jangan buru-buru menikah. Nanti kalau sudah mapan, sudah punya kerjaan yang tetap, punya rumah sendiri, baru tuh mulai mikirin nikah”
Ternyata logika tersebut tak sepenuhnya benar. Justru agama menyuruh kita dengan logika yang berbalikan dengan logika yang dianut oleh masyarakat kita. Jika masyarakat menganut prinsip, ‘Kalau ingin menikah, maka mapankan hidupmu dulu!’ atau dengan kalimat ringkas, ‘Kaya dulu, baru menikah’, justru logika agama menganjurkan hal yang berlawanan, ‘Jika ingin segera hidup mapan, maka menikahlah!’ atau dengan kalimat lain, ‘Kalau ingin hidup kaya, maka menikahlah!’.
Mungkin ada yang bertanya, ‘Lho, bagaimana mungkin bisa kaya dengan menikah?’.Saya pun langsung teringat pada kalimat langit yang memberi garansi ‘anti miskin’ bagi mereka yang melaksanakan pernikahan sebagai sarana untuk menjaga dirinya dari maksiat.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (Q.s An-Nur: 32)
Merenungi firman Allah yang tegas itu, saya agak khawatir, ketika kita tak menyegerakan menikah dengan alasan takut tak bisa menanggung biaya hidup berumah tangga, bukankah sikap itu adalah bentuk keraguan terhadap firman Allah?. Padahal Allah adalah Dzat Yang paling menepati janji. Ya, tak tanggung-tanggung, Allah menjanjikan kehidupan yang berkecukupan bagi orang yang menikah.
Pernikahan adalah sebagai pembuka pintu rezeki.
Benarlah nasehat para ulama bahwa pernikahan adalah sumber rezeki. Sebaliknya, perceraian bisa merugikan bagi kekayaan anda.
Survei yang melibatkan 9.000 orang menunjukkan perceraian menurunkan kekayaan seseorang hingga 77 persen. "Cerai menyebabkan menurunnya kekayaan jauh lebih
besar daripada sekadar membagi rata harta gono-gini," kata Jay Zagorsky dari Ohio State University.
Penelitian ini dilakukan pada rentang waktu 1985 hingga 2000. Pada tahun 1985,
rata-rata usia pasangan yang disurvai antara 21 hingga 28 tahun.
Sebaliknya, pernikahan itu sendiri membuat seseorang lebih kaya daripada sekedar
menggabungkan kekayaan kedua pasangan. Setiap orang yang menikah, rata-rata memperoleh jumlah kekayaan dua kali lipat.
Hanya dari faktor pernikahan, tanpa melibatkan faktor lain dalam perhitungan,
seseorang meningkat kekayaannya sekitar 4 persen setiap tahun. Temuan tersebut
dijelaskan dalam Journal of Sociology.
"Jika Anda benar-benar ingin meningkatkan kekayaan, menikahlah dan pertahankan,"
kata Zagorsky. Di lain pihak, lanjutnya, hindari perceraian karena akan menurunkan kekayaan.
Setelah bercerai, pria memiliki kekayaan rata-rata 2,5 kali lebih besar daripada
wanita. Selisih di antara keduanya rata-rata berkembang menjadi sekitar 5.100
dollar AS saja.
Pada orang yang akhirnya bercerai, kekayaannya terus merosot selama empat tahun
menjelang perceraiannya dan mencapai titik terendah pada tahun perceraiannya.
Kekayaannya kembali naik perlahan setelah bercerai namun tidak terlalu besar. "Bahkan sekitar sepuluh tahun setelah bercerai, rata-rata kekayaannya di bawah 10 ribu dollar AS," kata Zagorsky.
Menurutnya, penelitian ini bukanlah sebagai pembenaran, tapi paling tidak ada
alasan yang dapat menjelaskan. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa hidup bersama membuat pasangan lebih efisien dan pengeluaran lebih murah ketika hidup serumah.
Logika sederhananya insyaallah begini. Kita hidup di dunia ini ‘kan sudah dijatah oleh Allah rezeki sekian-sekian. Namun datangnya rezeki itu bisa saja terhalang oleh beberapa hal, misal malas atau gengsi. Nah, setelah menikah, kita dituntut untuk bertanggungjawab menafkahi keluarga. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab menafkahi inilah yang akan menghapus kemalasan dan rasa gengsi yang dulu bersemayam di hati. Kita pun akan mengerjakan usaha ekstra keras, karena di rumah sudah ada keluarga yang sedang menanti nafkah dari kita.
Selengkapnya...
Selasa, 01 Februari 2011
MENIKAHLAH, KAU AKAN KAYA
Minggu, 20 Juni 2010
“MENIKAHLAH !” MAKA KAU AKAN KAYA
Nduk, kapan kamu mau menikah? Mengapa belum ada Laki-laki yang kamu kenalkan pada kami? Apakah benar sudah tidak ada laki-laki yang mau padamu karena umurmu yang sudah tua? Fulanah pun terdiam tak bisa menjawab apa-apa, selain bisa menangis.
Di sebuah rumah. Seorang akhawat minta tolong kepada ustad agar dicarikan ikhwan yang sudah mapan, tampan, dan taat. Dengan bergurau sang ustad menjawab kalau ikhwan yang sudah mapan memang ada, tapi ia sudah beristri dan sudah ubanan karena umurnya sudah 50 tahunan. Ikhwan yang tampan pun ada, tapi belum mapan. Yang taat pun banyak tapi sayangnya tidak tampan. Sang Akhwat pun terdiam masgul, memikirkan tuntutan dari orang tua yang menginginkan suami yang meskipun taat tapi harus mapan dan tampan.
Di tempat lain, seorang laki-laki sedang di tertawakan oleh kawan-kawannya sesama aktifis da’wah karena umurnya sudah kepala tiga tapi belum juga menikah. Maksud hati ingin sekali menikah, tapi kerja belum juga mapan, bahkan sering numpang nginap dan makan di rumah teman.
Di tempat lain lagi, seorang bapak dengan marah berkata kepada anak gadisnya,” apa sih sebenarnya yang kamu cari? Sudah sekian banyak laki-laki yang datang melamar, tapi selalu saja kamu tolak. Tapi sang gadis diam saja. Sebenarnya jauh di lubuk hatinya ia ingin menikah dengan seorang ustad. Tapi ustad di daerahnya Cuma satu orang dan itupun sudah berkeluarga. Apa yang harus ia lakukan?
Cerita diatas adalah pernak-pernik para lajang yang sangat mendambakan pernikahan, tapi jodoh yang diinginkan tak juga kunjung datang. Mengapa hal-hal seperti ini bisa terjadi? Bagaimanakah Islam memandang perkawinan? Serta bagaimana mengatasi fenomena banyaknya diantara kita yang terlambat memasuki gerbang perkawinan?
Hukum Perkawinan
Rasulullah bersabda,” Nikah itu merupakan sunnahku, dan barang siapa yang membenci sunnahku maka ia bukanlah termasuk umatku.” (Hr. Bukhari, Muslim dan Abu Ya’la)
Berkata Imam Suyuthi,” Ketahuilah-rahikumullah. Bahwa nikah adalah wajib hukumnya, jika seseorang takut terjerumus ke lembah perzinaan. Tapi jika tidak dikhawatirkan pada hal tersebut, maka hukumnya adalah sunnah menurut jumhur ulama”. Sedangkan menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad, bahwa perkawinan itu adalah lebih utama dari pada shalat-shalat sunat, karena ia merupakan sebab adanya keturunan.
Sedangkan Imam Nawawi mewajibkan pernikahan. Beliau berkata,”andai kata nikah itu tidak wajib tentu tidak ada pilihan untuk menikahi budak, sebab menurut ulama ushul fikih, tidak ada pilihan antara wajib dengan yang tidak wajib, yang meninggalkan sesuatu yang wajib tidak berdosa.”
Tidak Boleh Meninggalkan Nikah Dengan Alasan Miskin:
Allah subhana wa taala berfirman,” Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas pemberian-Nya lagi maha mengetahui.” (Qs. An-Nur:32)
Ibnu Mas’ud berkata,”Carilah kekayaan dan rezki melalui pernikahan.” Lalu beliau membacakan surat An-Nur:32”
Umar bin Khatab berkata,”Saya takjub dan heran dengan orang-orang yang tidak menikah karena takut miskin, dan tidak mau mencari kekayaan melalui perkawinan.” (Imam Qurthubi, Al-Jamili Ahkamil Qur’an 13/241)
Berkata imam Ibnu Katsir menafsirkan surat An-Nur 32 ini,” ayat-ayat ini antara lain mengandung anjuran kawin dan membantu laki-laki yang belum beristri dan perempuan-perempuan yang belum bersuami, termasuk juga hamba-hamba sahaya yang sudah layak dan sudah cukup usia, hendaklah dibantu mereka dikawinkan. Dan janganlah sekali-kali kemiskinan dijadikan penghalang untuk kawin. Allah berfirman jika sewaktu kawin berada dalam keadaan tidak mampu, orang itu akan diberi reski dan kemampuan dengan karunia Allah dan rahmatnya, sebagaimana sabda Rasulullah,” Kawinlah kamu dalam keadaan miskin, pasti Allah akan memampukan dan memperkaya kamu.””
Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) berkata,“ hidup membujang bukanlah perintah Islam sedikitpun. Dan Rasulullah mengawini wanita sampai empat belas dan sembilan diantaranya meninggal (ketika beliau masih hidup). Jikalau seseorang tanpa alas kaki (miskin) sekalipun kawin, maka segala urusannya akan sempurna. Dan jika orang-orang tidak mau kawin, sedang saat itu bukan dalam keadaan perang, tidak sedang mengerjakan ibadah haji, dan tidak pula berbuat apa-apa. Maka sungguh perbuatan tersebut tidak beralasan. Adapun Rasulullah yang pada pagi hari pergi menemui isteri-isterinya tanpa adanya makanan apapun tetap memilih kawin, dan beliau menganjurkan umatnya untuk kawin dan melarang membujang. Dan barang siapa yang membenci perilaku Rasulullah, maka ia telah berpijak diatas pendirian yang tak benar. Adapun Nabi Ya’kub as. Juga melakukan pernikahan dan mempunyai anak ketika beliau dalam kesusahan.”
Pilihlah Ia Karena Agamanya
Sesungguhanya dalam menentukan pasangan hidup, Rasulullah sangat menekankan pentingnya untuk memilih orang yang beragama dan taat. Nabi mengingatkan dalam mengawini seseorang hendaklah jangan tergiur dengan kecantikan dan kedudukannya. Beliau bersabda,” Janganlah kalian mengawini wanita karena kecantikannya, mungkin kecantikannya itu bisa mencelakakan. Dan jangalah kamu mengawini wanita karena karena hartanya, mungkin hartanya itu bisa menyombongkan. Akan tetapi kawinilah mereka karena agamanya, sesungguhnya seorang hamba sahaya yang hitam warna kulitnya tetapi beragama, itu lebih utama.” (Hr. Ibnu Majah, Al-Bazzar dan Al-Baihaqi)
Akan tetapi Rasulullah juga tidak menafikan fitrah manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan. Ketika Nabi didatangi oleh Al-Mughirah bin Syu’bah yang memberitahukan bahwa ia meminang wanita maka Rasulullah bersabda,”Lihatlah dulu, karena itu dapat mengekalkan perkawinan kalian berdua.” (Hr. An-Nasa’I dan At-Turmudzi)
Yang dilarang oleh Islam dalam memilih pasangan adalah apabila seseorang terlalu menonjolkan masalah-masalah materi (harta), kecantikan, dan keturunan. Sehingga menjadikan orang tersebut lalai memperhatikan tuntunan Rasulullah yaitu memilih pasangan berdasarkan agamanya. Dan tak dapat dipungkiri kalau sebagian kawan-kawan dikalangan aktifis da’wah sekalipun bahwa masalah bagusnya agama seseorang bukan lagi menempati urutan pertama dalam menentukan jodohnya. Kadang-kadang seorang akhawat atau ikhwan lebih memilih menikah dengan orang awam tapi mapan dari segi materi/phisik, dari pada menerima pinangan/meminang seorang laki/perempuan yang taat tapi miskin. Bahkan sering juga orang tua dijadikan alasan penolakan mereka, karena jauh dalam hatinya mereka sendiripun sebenarnya tidak suka dengan dia yang datang melamarnya.
Akan tetapi banyak juga yang tetap memegang prinsipnya maka terjadilah kasus seperti diatas. Menunggu sesuatu yang tak pasti, dan berharap pada kenyataan yang belum tentu ada, berharap elang diatas awan, punai ditangan dilepaskan.
Kafa’ah
Kafa’ah (kesamaan) yang dituntut dalam Islam yang merupakan landasan pokok berdirinya sebuah keluarga muslim. Dalam memilih pasangan bukanlah kesamaan dalam soal kebanggaan nenek moyang, kesukuan, kedudukan, kebangsawanan, pendidikan dan tampang. tapi Kesamaan yang dituntut disini adalah kesamaan dalam masalah agama. Allah subhana wa taala berfirman,”Sesungguhnya orang yang paling Mulia disisi Allah adalah orang yang paling taqwa.” (Qs. Al-Hujurat : 13).
Imam Malik berkata “bahwa kecocokan (kufu) ialah dalam segi agama, berdasarkan Sabda Rasulullah,”Manusia itu sama saja, tidak ada keutamaan atas orang arab dan non arab kecuali ketaqwaannya. (Hr. Bukhari)”
Banyak sebenarnya pelajaran yang bisa kita petik dari kehidupan para Salaf yang mereka tidak mementingkan segala bentuk symbol-simbol keduniawian dalam membina sebuah rumah tangga. Berapa banyak seorang yang pada mulanya seorang budak, akan tetapi memiliki istri seorang anak bangsawan. Betapa banyak seorang yang pada mulanya hanyalah si miskin yang papa akan tetapi memiliki isteri anak seorang hartawan.
Tapi, masihkah sanggup kita yang miskin dalam ilmu agama ini menjalani hidup ini tanpa silau oleh symbol-simbol yang di buat manusia? Tapi, masihkah kita berharap berjalan diatas awan? sementara sayappun tiada di badan.
Selesai ditulis di Padang
Tanggal 10 mei 2005
Oleh Abu Umar Abdul Aziz
Maraji’
1. Imam As-Suyuthi, Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘Anil Ibtida’-terjemahan.
2. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir-Terjemahan
3. Husein Muhammad Yusuf, Ahdaful Usroh Fil Islam-terjemahan
4. Husein Muhammad Yusuf, Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang Dalam Islam.
5. Majalah Nikah vol 2 no 6, September 2003. Berat Jodoh Ke Biro Jodoh?
Selengkapnya...