Jumat, 27 Agustus 2010

LEADERSHIP VS DEALERSHIP

oleh Bambang Purwoko

Kepemimpinan bangsa seperti apakah yang sebenarnya dibutuhkan saat ini? Kita menghadapi kondisi yang dilematis, kepemimpinan tradisional dianggap tidak demokratis, sedangkan kepemimpinan modern rendah legitimasi. Banyak pemimpin modern
hasil proses demokrasi prosedural yang hanya didukung kurang dari setengah warga yang dipimpinnya. Mereka menjadi pemimpin dengan legitimasi nominal yang rendah.
Ada juga beberapa pemimpin yang didukung kelompok besar masyarakat.

Namun demikian, meskipun didukung oleh mayoritas, tidak ada jaminan bahwa mereka bisa menjadi pemimpin yang baik. Nyatanya, kita menyaksikan banyaknya pemimpin yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan dan managerial yang pantas. Banyak diantara mereka yang rendah kapasitas, rendah mentalitas, dan rendah pula moralitas.

Jika banyak masalah kronis dalam kehidupan masyarakat yang tidak bisa diselesaikan dengan baik, sebagian kesalahan sebenarnya bisa ditimpakan kepada para pemimpin yang tidak becus itu. Tetapi kesalahan lain adalah tanggungjawab masyarakat pemilih. Menurut teori elit, pemimpin adalah refleksi masyarakat yang dipimpinnya. Masyarakat saleh akan melahirkan pemimpin saleh. Sebaliknya pemimpin bejat adalah cermin perilaku buruk sebagian besar warga masyarakat.

Dalam konteks demokrasi prosedural saat mana pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyat, asumsi di atas menemukan pembenaran. Masyarakat baik pastilah akan memilih
pemimpin baik. Masalahnya, bagaimana caranya memilih pemimpin yang baik? Khususnya ketika saat ini muncul gejala yang (menurut Rocky Gerung) populer disebut dealership? Praktik dealership adalah upaya memunculkan atau mempopulerkan calon pemimpin melalui publikasi hasil survey atau jajak pendapat.

Politik dealer bekerja melalui lembaga-lembaga survey yang seolah-olah dapat meloloskan seseorang untuk memenangkan Pilkada maupun Pemilu. Dengan
mekanisme ini, yang muncul bukanlah leadership tetapi dealership. Apa yang salah dalam dalam praktik dealership melalui lembaga survei? Kesalahan terletak pada manipulasi proses dan metode.

Secara sederhana, jika ada pertanyaan tentang siapakah pemimpin yang paling populer, jawaban masyarakat akan tergantung pada jenis pertanyaan dan cara bertanya. Juga tergantung pada informasi apa yang diperoleh masyarakat dalam periode waktu tertentu. Itulah yang dimanfaatkan dalam politik dealer. Masyarakat terus diguyur informasi dengan kemasan ”citra baik” calon tertentu melalui iklan koran, TV,
radio, baliho, poster, dan selebaran; kemudian mereka ditanya tentang siapakah yang paling populer dan pantas menjadi pemimpin. Masyarakat tergiring untuk memilih pemimpin palsu. Mengapa? Meskipun dukungan nominal sangat penting bagi legitimasi
pemimpin, popularitas saja tidaklah cukup.

Kompleksitas persoalan dan dinamika dalam politik pemerintahan menuntut adanya kapasitas dan mentalitas kepemimpinan (leadership) yang kuat bagi setiap
pemimpin. Bahkan survei-pun membuktikan bahwa, hanya bermodalkan popularitas saja tidaklah cukup digunakan sebagai modal untuk memimpin. Pemimpin yang berhasil haruslah memiliki kepintaran, jujur dan bisa dipercaya, memiliki empati terhadap
kondisi yang dipimpinnya, dan memiliki ketegasan dalam mengambil keputusan.

Berhati-hatilah memilih pemimpin. Banyak kajian empiris tentang kepemimpinan menunjukkan bahwa, kualitas dasar yang mutlak harus ada pada diri seorang pemimpin adalah tanggung jawab, memiliki visi, disiplin diri, sikap mau belajar, sikap melayani, berpendidikan baik, dan didukung baik oleh keluarga. Pilihlah mereka yang kira-kira tidak berambisi meraih keuntungan bagi diri pribadi dan kelompoknya saja, tetapi yang benar-benar ingin mengabdi dan menghibahkan dirinya untuk kemajuan masyarakat.

Oleh karena itu, tidaklah perlu mempraktikan politik dealership yang manipulatif. Jika seseorang memiliki kualitas dasar seperti digambarkan di atas, pastilah masyarakat akan dengan rela hati memilihnya menjadi pemimpin. Apalagi masyarakat Jawa mengenal jargon yang sangat populer dalam upaya memilih pemimpin, sapa sing
ketara bakal ketari. Artinya, siapa yang kualitas dan kinerjanya terlihat nyata, pastilah masyarakat akan menawari, meminta, dan memilihnya menjadi pemimpin. Insya Allah.*****

sumber: bpurwoko.staff.ugm.ac.id

ARTIKEL TERKAIT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar