Mampu Menawarkan Emotional Value
Konsumen Indonesia amat getol dengan gengsi. Banyak yang ingin cepat naik “status” walau belum waktunya.
Jika Anda melancong ke Kuala Lumpur, Malaysia, coba iseng-iseng hitung berapa jumlah mobil mewah—misalnya BMW dan Mercedes-Benz (Mercy)—yang menggelinding di jalan raya. Jangan heran, kalau sulit menemukannya di antara ribuan mobil merek Proton dan Perodua. Kalaupun ada, jumlahnya mungkin tidak lebih dari 10 buah.
Kondisi ini sangat berbeda dengan Jakarta. Mobil Mercy, BMW, dan Volvo yang berseliweran di jalanan ibukota sudah merupakan pemandangan yang biasa. Bahkan, di akhir pekan, merek premium lainnya seperti Jaguar dan Ferrari mulai gampang ditemukan di jalan-jalan kota metropolitan ini.
Konsumen di setiap negara memang punya karakter unik masing-masing. Jadi, biarpun sama-sana rumpun Melayu, dalam masalah gengsi, karakter konsumen Indonesia tampak lebih menonjol ketimbang konsumen Malaysia. Saking pentingnya urusan gengsi ini, mobil-mobil mewah pun tetap laris terjual di negeri kita pada saat krisis ekonomi sekalipun.
Jumlah mobil mewah yang meluncur di jalan tergolong besar untuk ukuran Indonesia yang pendapatan per kapitanya masih rendah. “Ini terjadi karena banyak konsumen melihat mobil bukan pada fungsinya, tetapi apakah mobil tersebut membantu mereka menaikkan status mereka,” tandas Handi Irawan D.
Menurutnya, ada tiga budaya dan norma di masyarakat Indonesia yang menyebabkan gengsi. Pertama, konsumen Indonesia suka bersosialisasi. Ini kemudian mendorong orang untuk pamer atau tergoda untuk saling pamer. Kedua, kita masih menganut budaya feodal yang menciptakan kelas-kelas sosial. Akhirnya, terjadi “pemberontakan” untuk cepat pindah kelas. Ketiga, masyarakat kita mengukur kesuksesan dengan materi dan jabatan. Akibatnya, banyak di antara kita ingin menunjukkan kesuksesan dengan cara memperlihatkan materi yang dimiliki.
Bicara soal materi, maka produk yang paling sering dipakai untuk “unjuk gigi” adalah mobil dan rumah. Di Hong Kong—yang lahan tanahnya sempit, status orang kaya lebih ditentukan pada apakah dia memiliki rumah (bukan apartemen) atau tidak. Namun, di negeri kita, mobil lebih favorit karena bisa dipamerkan ke sana-ke mari.
Sulit dibantah, saat ini mobil adalah simbol dari kesuksesan bagi masyarakat Indonesia. Mobil seorang manajer, misalnya, adalah Avanza. Seorang GM pantasnya mengendarai sedan menengah. Direktur pasti lebih tinggi lagi; bisa Mercy, BMW atau Toyota Camry. Ini cuma sekadar contoh. Yang jelas, karier yang lebih tinggi pasti mobilnya lebih bergengsi.
Karakter gengsi ini bisa dijelaskan dengan memakai teori Maslow tentang lima tingkatan kebutuhan manusia. Menurutnya, kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisik seperti makanan dan minuman. Setelah itu, kebutuhan yang bersifat keamanan dan nyaman dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya adalah kebutuhan bersosialisasi. Pada level keempat (self-esteem), manusia sudah menempatkan gengsi, status, dan pencapaian sebagai kebutuhan utama. Sedang pada level kelima atau yang tertinggi (self-actualization), manusia sudah mulai mengisi kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan berbagi dengan orang lain.
Nah, produk yang menjual gengsi adalah produk yang bisa menawarkan “emotional value” guna memenuhi kebutuhan self-esteem, yaitu kepuasan konsumen untuk meningkatkan status mereka di mata orang lain (gengsi). Sebagian besar dari orang kaya di Indonesia, biasanya lebih fokus kepada self-esteem dan bukan self-actualization.
Diperkirakan saat ini terdapat sekitar 200 ribu orang kaya di Indonesia yang punya dana liquid sebanyak 1 miliar ke atas. Makanya, bank-bank tampak sangat getol menggenjot program priority banking untuk menjaring segmen berkantong tebal ini. Beragam fasilitas dan layanan pribadi pun mereka tawarkan.
Tidak tanggung-tanggung, nasabah priority banking ini akan dilayani bak seorang raja. Mereka tidak perlu antri di depan teller untuk melakukan transaksi. Tinggal duduk santai di ruangan khusus yang mewah, dan semua urusan perbankan bakal ditangani oleh seorang Customer Relations Officer (CRO).
Kalau tidak sempat pergi ke bank, petugas CRO tersebut siap datang kapan pun dipanggil. Bahkan, urusan yang sifatnya pribadi pun tak jarang ikut dilayani—misalnya booking pesawat atau layanan prosesi pemakaman. Semua fasilitas itu bisa diperoleh asalkan nasabah memiliki saldo minimal Rp 500 juta–1 miliar di bank tersebut.
Melihat jumlah orang kaya di Indonesia, papar Handi, seharusnya banyak produk yang tidak semestinya memiliki omzet sebesar yang mereka dapat kini. Penyebabnya, banyak orang yang mulai kaya, kemudian ingin “status” mereka cepat naik walau sebenarnya belum waktunya.
Harry Susianto juga sependapat. Menurutnya, gengsi selalu berkaitan dengan level status sosial. Level bawah tidak mempunyai gengsi. Begitu naik ke tengah dan atas sedikit, gengsi itu baru muncul. Sedang yang paling atas justru tidak gengsi karena memang sudah mapan. “Orang gengsi itu kan ingin menunjukkan bahwa dia lebih dari yang lain. Dia ingin membedakan diri dengan yang lain. Oleh karena itu, ia memilih produk-produk yang menjadi marker.”
Contohnya bisa dilihat pada Communicator. Di Indonesia, ponsel Nokia seri 9500 ini sangat diminati. Penjualannya bahkan termasuk ketiga tertinggi di dunia. Usut punya usut, fenomena itu lebih disebabkan oleh faktor gengsi. Lantaran ukurannya yang hampir sebesar batu bata, ponsel mahal ini akan dengan mudah terlihat orang lain.
Begitu pula Starbucks. Konsumen di Indonesia bukan cuma menikmati suasana nyaman dan rasa kopi yang ditawarkan oleh kedai kopi yang berasal dari Seattle itu. Mereka juga menikmati “experience” di kafe terbuka, yang bisa dengan melihat dan dilihat orang lain. To see and to be seen. Mereka merasa statusnya naik jika berada di Starbucks atau kafe-kafe mahal lain yang terbuka dan mudah dilihat orang.
Roy Goni menilai, produk untuk kalangan menengah ke atas memang selalu dikemas dengan gaya hidup. Segalanya selalu diekspresikan melalui pembelian yang demonstratif, impulse, dan hedonistik. Kondisi seperti itu sangat kuat sekali. Data dari biro travel di Singapura menggambarkan bahwa orang Indonesia termasuk pembelanja yang signifikan. “Konsumen Indonesia lebih mengutamakan penampilan ketimbang fungsi, lebih mengandalkan konteks daripada konten,” jelasnya.
Pendorong dari budaya ini adalah gencarnya iklan dan promosi yang menempatkan gengsi sebagai bagian utama. Akibatnya, konsumen yang sudah memiliki potensi untuk mementingkan gengsi, dengan cepat belajar bahwa gengsi adalah hal yang penting.
Sehubungan dengan strategi periklanan, Judy Uway menyarankan agar produsen memilih media yang segmented. Misalnya, di majalah-majalah yang ditujukan untuk kelas A+ atau di koran nasional yang terpilih. “Dengan begitu, prestise produk tersebut tetap terjaga,” tutur Media Director JC&K Advertising ini.
Faktor awareness dan image jelas sangat penting. Sebab, pertimbangan seorang calon pembeli mobil adalah bagaimana orang lain melihat mobil tersebut. Lantaran itulah, banyak mobil di Indonesia beriklan bukan hanya ditujukan kepada calon pembeli potensial, melainkan juga kepada mereka yang tidak mampu membeli.
“Bisa saja beriklan di media yang bukan segmen dari produk itu,” kata Judy. Tetapi, ia mengingatkan, pemasar harus tetap mempertimbangkan karakter media yang bersangkutan, umpamanya dengan media nasional yang bergengsi.
Yang juga bisa menjadi catatan pemasar, sekarang usia konsumen yang sukses dan berdaya beli tinggi makin lama makin muda. Sudah lumrah bila kita menemukan seorang direktur atau pengusaha sukses yang belum genap berusia 40 tahun. Hal juga disadari oleh DaimlerChrysler Indonesia (DCI). Mereka kini sudah mulai mengincar segmen kaum mapan yang berusia lebih muda. Dulu, lantaran yang pembelinya rata-rata konsumen yang sudah “berumur”, mobil Mercy sempat identik sebagai kendaraan untuk orang tua.
“Memang betul, pada waktu itu Mercedes-Benz dipersepsikan sebagai merek untuk mereka yang sudah senior dan mature dari segi finansial,” kata Yuniadi H Hartono, Deputy Director Marketing Planning & Communication DCI. Namun, lanjutnya, sejak tahun 1995 persepsi itu mulai bergeser dengan diluncurkannya seri C Class dan A Class—yang ditujukan untuk kalangan yang lebih muda.
Pemasar juga bisa meluncurkan seri limited edition. Strategi ini cukup ampuh untuk melejitkan gengsi. Siapa sih yang tidak bangga jika memiliki kendaraan yang cuma ada beberapa unit di seantero dunia atau bahkan mungkin satu-satunya? Semakin “limited”, semakin eksklusif, semakin tinggi pula harga yang bisa ditawarkan.
Sebagai contoh, sepeda motor Ducati limited edition dipatok seharga Rp 1,2-1,3 miliar per unit! Motor ini hanya diproduksi sebanyak 490 unit setahun di seluruh dunia. Apabila Anda membelinya, pihak Ducati akan memberikan layanan purnajual selama dua tahun unlimited mileage. “Tahun ini sudah habis. Jadi, benar-benar eksklusif. Sepeda motor ini memang mahal sehingga orang sangat menyukainya,” terang A. S. Nugroho, Presiden Direktur PT Supermoto Indonesia.
Gengsi jugalah yang kini menjadi iming-iming para pemasar kartu kredit platinum. Bayangkan, betapa kerennya bila konsumen bisa mengantongi kartu yang “unlimited” itu. Sayangnya, cara-cara mereka menjaring nasabah kadang sudah tidak rasional. Seorang teman pernah menggerutu karena dua kali ditawari kartu bergengsi tersebut. “Bagaimana bisa, orang yang bergaji 5 juta juga ditawari. Bank-bank ini sudah kehilangan akal,” cetusnya.
Tentu saja dia menolak, karena takut terjebak dalam utang. Baginya, kartu silver atau gold dengan limit rasional sudah mencukupi. Memang, sebaiknya para pemasar kartu kredit tidak membabi-buta menawari konsumen yang bukan target market. Tanggung jawab terhadap mereka mesti lebih diperhatikan. Jangan sampai gara-gara gengsi, konsumen nanti jadi sengsara dikejar-kejar tagihan yang tak sanggup dibayarnya.
sumber: kaskus.us
Rabu, 18 Agustus 2010
KARAKTER KONSUMEN INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar