2. Unplanned Behavior ( Tidak terencana )
Sulitnya Merencanakan Sesuatu
Konsumen Indonesia termasuk konsumen yang tidak terbiasa merencanakan sesuatu. Sekalipun sudah, tapi mereka akan mengambil keputusan pada saat-saat terakhir. Karenanya, pemasar harus serba fleksibel untuk memenuhi kebutuhan konsumen semacam ini.
Apa yang paling membuat stres para pengelola kegiatan seminar di Indonesia? Ternyata sebagian besar peserta mendaftarkan diri pada hari-hari terakhir. Oleh karena itu, jarang pengelola kegiatan seminar memasang iklan lebih dari satu bulan sebelum hari-H. “Buat apa pasang tiga bulan sebelumnya, toh yang mendaftar baru satu minggu sebelum acara,” kata seorang pengelola yang kerap mengadakan seminar sebulan sekali. Ini berbeda dengan kebiasaan di dunia barat yang umumnya sudah mempromosikan seminar mereka satu tahun sebelumnya.
Inilah kebiasaan orang Indonesia yang cenderung enggan untuk merencanakan sesuatu dari jauh hari. Kebiasaan ini agak mirip dengan kebiasaan konsumen nomor satu (short-term perspective). Namun jika kebiasaan yang pertama tidak melihat jauh ke depan, kebiasaan kedua ini tidak menyiapkan sesuatu jauh di belakang. Kebiasaan “kebut semalam” memang menjadi ciri orang Indonesia. Termasuk dalam mendaftar seminar sampai membayar tagihan, semua dilakukan dalam waktu yang mepet. Kebiasaan ini rupanya juga tidak hanya menghinggapi konsumen kelas menengah ke bawah, tetapi juga kelas menengah ke atas.
Kalau diperhatikan, kebiasaan ini juga terjadi di pemerintahan. Beberapa kebijakan hari libur “kejepit nasional” dan pergeseran hari besar, baru diumumkan dekat dengan hari-H. Bahkan, untuk pemilihan kepala daerah seperti Pilkada DKI pun, pemerintah belum mensosialisasikan dengan baik kapan waktu sebenarnya. Ketika mendekati hari pencoblosan, barulah pengumuman dikeluarkan. Padahal hari-hari ini terkait dengan aktivitas perusahaan.
Tapi, toh konsumen Indonesia sebenarnya juga tidak banyak terganggu dengan peraturan yang muncul tiba-tiba. Coba baca artikel di beberapa surat kabar tahun lalu, ketika pemerintah meminta semua kartu prabayar mendaftarkan diri? Pada saat-saat terakhir, ternyata masih ada sekitar 10 juta nomor seluler terancam diblokir. Para operator seluler pun kelimpungan menghadapi pengguna kartu prabayar yang masih belum mendaftarkan diri di saat-saat terakhir. Miliaran rupiah pun dikeluarkan dengan mendirikan call center yang berfungsi mengingatkan pengguna kartu prabayar agar segera mendaftarkan diri. Mereka melakukan ini hanya supaya nomor tersebut tidak hangus, dan mengakibatkan pelanggan mereka hilang.
Itulah sifat konsumen Indonesia yang cenderung tidak memiliki rencana. Indikasi ini juga terlihat dari masih rendahnya pasar asuransi di Indonesia. Masih banyak konsumen Indonesia tidak melakukan perencanaan keuangan masa depan. Bahkan mereka tidak mempersiapkan rencana apa pun jika terjadi sesuatu di masa mendatang. Di Indonesia, nilai premi asuransi hanya sebesar 1,67% dari GDP. Bandingkan misalnya dengan Singapura yang mencapai 3,5%, atau Eropa yang mencapai 5,1%.
Sifat konsumen ini juga terlihat dari aktivitas belanja konsumen. Sebagian besar konsumen ternyata banyak yang membeli produk atau merek yang tidak direncanakan pada saat pergi ke ritel modern. Mereka cenderung melakukan impulse buying, atau langsung membeli di tempat. Itulah sebabnya, tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya impulse buying di ritel modern menjadi incaran para pemasar.
Industri seperti hotel pun kerap mendapatkan konsumen-konsumen unplanned ini. Mereka biasanya menginap dan kemudian melakukan check out di saat-saat akhir. Biasanya hotel memiliki batas waktu check out pukul 12 siang, dan para penyewa kamar melakukan check out pada saat mendekati waktu pukul 12 siang.
Di industri farmasi, sifat unplanned behavior ini tercermin dari masih banyaknya konsumen yang tidak membeli obat untuk persediaan. Di industri selulear, masih banyaknya pengguna kartu prabayar yang membeli voucher pada saat pulsanya benar-benar habis.
Bagaimana strategi pemasaran yang bisa dilakukan untuk menghadapi konsumen yang tidak punya rencana ini? Implikasinya, Anda memang harus menjalankan pelayanan yang lebih fleksibel. Sulit menjalankan sistem yang kaku pada konsumen semacam ini. Jika setelah masa jatuh tempo terkena denda, maka konsumen semacam ini harus diberi masa tenggang waktu tambahan satu atau dua hari. Kalau tidak, mereka akan merasa tidak puas karena dikenai denda cuma gara-gara kelewat bayar satu hari!
Demikian pula di hotel-hotel, sekalipun check out pukul 12.00, namun biasanya pihak hotel masih memberi tenggang waktu sampai pukul 13.00. Beberapa hotel bahkan memberi tenggang waktu sampai pukul 14.00, selama belum ada tamu baru yang masuk ke kamar tersebut. Jika Anda pemasar ritel, Anda juga harus menyiapkan stok barang yang cukup karena seringkali konsumen Indonesia membeli banyak barang pada waktu-waktu yang tidak direncanakan.
Fleksibilitas juga harus diberikan kepada konsumen dalam hal akses. Artinya, sebisa mungkin konsumen bisa memperoleh produk di tempat yang tidak direncanakan. Strateginya adalah dengan menempatkan produk di lokasi-lokasi yang mudah terlihat oleh konsumen. Strategi lain adalah dengan mengintensifkan distribusi dengan melibatkan banyak channel dan area. Strategi ini, misalnya, dilakukan oleh pemain kartu seluler dengan membuka jaringan outlet untuk voucher sampai ke area perumahan, agar setiap kali pengguna kartu prabayar kehabisan pulsa, mereka bisa membeli di outlet terdekat.
Untuk strategi komunikasi, langkah yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong konsumen untuk berlaku cepat. Banyak pemasar misalnya menyukai pameran, karena biasanya pada saat pameran mereka bisa mendesak konsumen untuk membeli produk dengan promosi menarik yang berlaku hanya sampai pameran berakhir. Membiarkan konsumen membuat rencana terlebih dahulu akan membuat mereka ragu-ragu. Itulah sebabnya, kekuatan persuasif dari iklan maupun tenaga penjual sangat diperlukan.
Bagaimana dengan produk-produk yang membutuhkan perencanaan seperti asuransi? Mengedukasi konsumen adalah cara yang tepat. Namun, di samping edukasi, kekuatan agen asuransi untuk mendorong konsumen berpikir cepat dan mengambil keputusan sangatlah diperlukan.
Salah satu bentuk perilaku konsumen yang tidak direncanakan adalah terjadinya impulse buying. Namun demikian impulse buying sendiri memiliki kadar tertentu. Bagaimana rupa konsumen Indonesia dalam hal ini?
Impulse buying adalah perilaku orang yang tidak merencanakan sesuatu dalam berbelanja. Konsumen yang melakukan impulse buying tidak berpikir untuk membeli produk atau merek tertentu. Mereka langsung melakukan pembelian karena ketertarikan pada merek atau produk saat itu juga. Rook dan Fisher misalnya pernah mendefinisikan impulse buying sebagai kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan, reflek, tiba-tiba, dan otomatis.
Dari definisi ini terlihat bahwa impulse buying merupakan sesuatu yang alamiah dan merupakan reaksi yang cepat. Namun demikian, dalam situasi dan waktu apa itu terjadi, memang tidak dijelaskan. Jadi impulse buying ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Termasuk pada saat melihat iklan di televisi atau billboard, dan kemudian si konsumen langsung membeli. Namun demikian, istilah ini lebih sering dipakai di dunia ritel. impulse buying terjadi pada saat si konsumen masuk ke toko ritel dan ternyata membeli produk di ritel tersebut tanpa merencanakan sebelumnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Nielsen, ternyata 85% pembelanja di ritel modern Indonesia cenderung untuk berbelanja sesuatu yang tidak direncanakan. Ini dapat dilihat pada grafik, di mana 61% konsumen biasanya memang merencanakan membeli sesuatu sehingga mereka datang ke ritel. Namun demikian, mereka kadang-kadang juga membeli sesuatu yang lain. Artinya, mereka juga melakukan pembelian yang direncanakan. Sebanyak 13% konsumen selalu membeli sesuatu yang lain, dan bahkan 10% benar-benar tidak merencanakan untuk membeli.
Memang wajar jika seorang konsumen datang ke supermarket atau hipermarket karena dorongan untuk membeli sesuatu. Namun kebiasaan membeli tanpa perencanaan selalu hinggap di benak konsumen pada saat masuk ke ritel tersebut. Karena itu, sejumlah pemasar kemudian memilih untuk banyak melakukan aktivitas pemasaran langsung di ritel modern. Tujuannya agar menarik konsumen melakukan impulse buying.
Dari hasil survei perbandingan antar negara, sifat konsumen yang sering melakukan impulse buying ini sebenarnya bukan hanya ciri khas orang Indonesia. Hampir setiap konsumen di semua negara memang cenderung melakukan impulse buying. Hanya saja kadarnya sedikit berbeda. Ini terlihat dari survei Nielsen yang dilakukan antar negara. Konsumen di negara seperti Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan China ternyata lebih sering melakukan impulse buying dibandingkan negara seperti Jepang dan Korea. Di kedua negara ini masih kadang-kadang saja mereka melakukan impulse buying. Ini terlihat dari persentase konsumen yang melakukan pembelian tanpa direncanakan dan selalu membeli produk tambahan lain dibandingkan dengan persentase konsumen yang kadang-kadang saja membeli produk tambahan lain.
Namun jika kita lihat persentase di negara-negara Asia Selatan dan Asia tenggara, perilaku impulse buying mereka ternyata lebih besar kecenderungannya. Rata-rata persentase konsumen yang benar-benar tidak merencanakan saja jumlahnya sudah lebih besar dibandingkan negara-negara Pasifik dan Asia Utara. Apalagi jika ditambah dengan persentase konsumen yang selalu membeli tambahan produk yang tidak direncanakan. Dari data tersebut, Vietnam ternyata termasuk negara yang konsumennya benar-benar tidak merencanakan ketika berbelanja.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi konsumen untuk melakukan impulse buying. Produk yang memiliki kesempatan untuk terjadinya impulse buying umumnya adalah produk yang memiliki harga rendah sehingga konsumen tidak perlu berpikir untuk menghitung bajet yang dimilikinya. Kedua adalah produk-produk yang memiliki mass advertising, sehingga ketika berbelanja si konsumen ingat bahwa produk tersebut pernah diiklankan di televisi. Ketiga adalah produk-produk dalam ukuran kecil ringan dan mudah disimpan. Biasanya, konsumen mengambil produk ini karena dianggap murah dan tidak terlalu membebani keranjang atau kereta belanjanya.
Hal lain yang bisa mempengaruhi orang melakukan impulse buying adalah produk self-service. Misalnya si konsumen bisa menuang sendiri minumannya atau konsumen bisa langsung memanaskan makanannya lewat microwave. Selain itu, kemampuan si pemasar membuat visualisasi yang baik juga bisa menciptakan impulse buying.
Jadi, ada beberapa hal yang memungkinkan kesempatan membeli tanpa rencana itu terjadi. Oleh sebab itu, impulse buying sendiri memiliki beberapa bentuk. Stern pernah membagi aktivitas impulse buying ini ke dalam beberapa kategori. Pertama adalah reminder impulse buying, yakni terjadi pada saat konsumen di toko, melihat produk dan kemudian membuatnya mengingat sesuatu akan produk tersebut. Bisa jadi dia ingat iklannya atau rekomendasi orang lain.
Pure impulse buying terjadi ketika si konsumen benar-benar tidak merencanakan apa pun untuk membeli. Ada lagi suggested impulse buying di mana si pembelanja diperkenalkan produk tersebut melalui in-store promotion. Bahkan ada yang disebut sebagai planned impulse buying, di mana si konsumen sebenarnya memiliki rencana, namun keputusan membelinya tergantung pada harga dan merek di toko tersebut.
Impulse buying memang menjadi tantangan bagi para pemilik merek. Khususnya jika planned, suggested dan pure impulse buying terjadi. Sedahsyat apa pun iklan kita di televisi, konsumen akan semakin dibingungkan pada saat berbelanja di ritel, karena keputusan mereka pun bisa berubah pada saat mereka berada di ritel.
sumber: kaskus.us
Kamis, 19 Agustus 2010
KARAKTER KONSUMEN INDONESIA BAG 2
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar