Dalam sebuah abad, dalam sebuah ketakutan akan kehilangan orang-orang yang tercinta, dan pada detik-detik terakhir dari kehidupan itu sendiri. Seorang muruid bertanya pada gurunya,” ya syaikh, jika kita benar mengapa kita kalah, ketika si bathil memalingkan pipi membanggakan jumlah bilangan harta dan persiapannya dalam menghukumi darah, harta dan kehormatan kaum muslimin semaunya, bukankan pada waktu itu kita berada dalam pihak yang benar dan mereka pihak yang bathil?”
sementara pada detik yang lain, jam yang lain, hari yang lain, bulan yang lain, tahun yang yang lain serta pada abad yang lain. Pertanyaan yang sama kembali terulang, pada sebuah ceramah dan diskusi ilmiah seorang peserta bertanya kepada pemakalah,” ,” ya ustadz, jika kita benar mengapa kita kalah, ketika si bathil memalingkan pipi membanggakan jumlah bilangan harta dan persiapannya dalam menghukumi darah, harta dan kehormatan kaum muslimin semaunya, bukankan pada waktu itu kita berada dalam pihak yang benar dan mereka pihak yang bathil?”
Maka pada detik yang lain, jam yang lain, hari yang lain, bulan yang lain, tahun yang yang lain serta pada abad yang lain. jawaban yang sama kembali terulang,” sebenarnya kekalahan kita hanya dikarenakan keraguan kita akan kebenaran yang didakwahkan atau karena kita gentar menghadapi kebathilan. Sesungguhnya orang yang membela kebenaran, namun bila ia benar-benar yakin terhadap kebenaran itu, niscaya akan mendapat petolongan dan kemenangan meskipun dimata sijahil ia kalah dan tertindas.”
Seorang napoleon bonarparte pernah berkata,”Banyak manusia yang belajar sejarah, tapi amat sedikit mereka yang belajar dari sejarah.” Sejarah hanya mencatat kisah orang-orang yang berhasil dan tak pernah mencatat kisah mereka yang gagal. Sejarahpun telah mencatat jejak Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa salam, dalam menapak hari dalam perjuangan, persaudaraan, kebersamaan, keikhlasan, kebahagiaan dan penderitaan.
Mungkin tapak-tapak berjejak itu terlalu panjang, terlalu banyak waktu, perasaan dan uang yang harus dikorbankan. Dan mungkin hanya ada sedikit waktu untuk dapat menarik napas dan merenungi arti pengorbanan.. tapi tapak-tapak berjejak terus melangkah, tak menunggu, meninggalkan keputus asaan, untuk kembali pada hari yang sama, cita-cita yang sama untuk kemudian sama-sama mengulangi sejarah yang sama.
Lalu sejarahpun kembali ke muaranya setelah mengembara jauh menembus awan, mendaki gunung dan menuruni lembah untuk kemudian apakah ia akan menjadi sesuatu yang tersia-sia atau menjadi sesuatu yang berguna bagi makhluk hidup lain yang kemudian kembali lagi ke muaranya untuk bercerita tentang keberhasilan dan kegagalannya.
Dalam sebuah episode
Abad-abad yang lalu, persaudaraan adalah sebuah realita. Ia adalah sebuah komitmen yang ada dalam hati-hati manusia. Setiap geraknya adalah perwujudan dari sebuah keyakinan yang melahirkan sebuah pengorbanan yang utuh yang tak terbias oleh ritme-ritme hidup yang membisingkan, yang menjebak manusia dalam sebuah keyakinan yang melahirkan sebuah pengorbanan yang utuh yang tak terbias oleh ritme-ritme hidup yang membosankan yang menjadikan manusia semakin jauh dari ikatan-ikatan kepedulian.
Bagi mereka, perjalanan waktu adalah tempo untuk mencari eksistensi diri dan pada akhirnya membawa mereka kepada keabadian. Dakwah adalah pengendalian diri. Pengendalian diri terhadap perilaku, pengendalian diri terhadap kebenaran dan pengendalian diri terhadap kebajikan-kebajikan yang menjadikan mereka sebagai sesuatu yang agung yang tak mungkin akan tergapai oleh kebajikan-kebajikan lain selain yang ada pada mereka.
Detik-detik ini, persaudaraan mungkin hanyalah simbol yang tak lebih dari hitungan angka demi angka. Yang menjadikan deret ukur sebagai pengikat dari setiap gerak yang dilangkahkan, dari setiap mimpi yang harus diwujudkan dan dari setiap bentuk persekutuan yang harus dijalankan. Dan berapa angka lagi yang harus kita kejar agar persaudaraan itu dapat dipertahankan. Atau mungkin persaudaraan tak lebih dari sebuah nyanyian nostalgia yang begitu indah yang tak mungkin terwujud dalam dunia nyata. Karena mungkin banyak kepentingan yang harus segera diwujudkan dan akan banyak lagi yang harus segera dijabarkan didalam kehidupan yang kian menyesak dan menghancurkan ini. Maka jadilah persaudaraan itu terkurung pada majelis-majelis ta’lim, pada seminar-seminar dan pada rumah-rumah ibadah.
Sementara ditempat lain, kitapun terpuruk dan menggelepar dengan diri sendiri. Perkelahian dengan hidup membuat kita lupa dengan eksistensi diri. Sementara keberadaan manusia lain hanyalah alat untuk mencapai kepuasan diri yang akhirnya jadilah ia sebuah ego yang tersesat dalam sebuah wilayah yang tak berpeta, tak tahu dimana langkah hendak diayunkan, tak tahu kepada siapa hendak bertanya dan tak tahu kepada siapa hendak berharap. Maka pada saat itulah persaudaraan mati.
Pada episode yang lain. Manusia kembali terjebak pada kesombongan dan kemegahan diri. Pada saat kebenaran sudah divonis menjadi milik pribadi, maka tak mungkin kebenaran dimiliki oleh selainnya. Saat itu, jadilah kebenaran itu sebagai ego. Ego untuk minta diakui sebagai sesuatu yang paling benar, ego untuk diberi hak agar bisa menghukumi manusia lain, ego untuk memasung manusia dalam budak prinsip ketidak pastian yang menjadikan manusia seperti domba-domba yang bisa dihalau sekehendak hati kemanapun yang diinginkan sang pemilik kebenaran.
Pada akhirnya, kebenaran terpasung dalam kekakuan, kebodohan dan kemunafikan. Untuk kemudian dikubur dalam-dalam ke jiwa-jiwa yang rapuh, gersang, malang dan pantas untuk dikasihani.
Saat itu jadilah kita berkaca pada cermin-cermin yang retak, buram dan menyedihkan. Tak ada kepastian dan kebenaran yang bisa diwujudkan disana, kecuali warna kusam, hampa dan menakutkan.
Sementara ditempat yang lain. Kebersamaan hanyalah sebuah fase yang harus dilalui dalam sebuah hidup. Walau mungkin tak punya tujuan dan tak tentu arah. Letih mengejar mimpi yang tak tahu dimana. Disaat usia menuntut cinta, jiwa-jiwa yang rapuh menggelepar diantara waktu dan berharap kepada ketidak pastian. Dan pada saat kekelaman mulai mengoyak malam, jiwa-jiwa yang rapuh tadi hanya bisa berteriak kepada kesunyian, bertanya pada bayang-bayang, lalu menangkap kekosongan diantara warna-warna hitam sang malam sambil menunggu siang yang pastinya datang dan menyiasati ketiadaan untuk kemudian kembali meratap dalam kesendirian.
Akhirnya, tatkala kesadaran hilang rasa, tatkala cinta tak mungkin tiba. Waktu itulah keinsyafan datang walau harus terlambat dalam menanti kepastian yang sia-sia.. saat itulah satu per satu, kuncup demi kuncup bunga-bunga srikandi karbala berguguran, tak terpetik, walau masih menyisakan keharuman yang pasti mungkin tak akan memberi arti apa-apa.
Pada akhirnya, nyatalah kalau sejarah tak pernah mencatat apa-apa atas dirinya. Kecuali keletihan, penyesalan, kesia-siaan dan keputusasaan. Karena manusia lupa menyiasati kematian melalui kehidupannya. Ia tersesat dijalan yang ia pilih dan ia lalui. Dan kesadaran manusia muncul setelah ia benar-benar tersesat dan hilang arah. Kesadaran yang tapi datang setelah sebuah episode menutup cerita. Maka pada saat itulah,” KEBENARAN MATI.”
Batam, 08 Juni 1998
Minggu, 20 Juni 2010
CERITA TENTANG KEBENARAN YANG MATI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar